Pengawasan BMT Menuju Bisnis Yang Sehat
(Kedaulatan Rakyat, Sabtu, 29 Desember
2007)
Dalam beberapa tahun terakhir Baitul Maal
wa Tamwil (BMT) mengalami perkembangan yang sangat pesat. Informasi yang disampaikan
oleh Dewan Pembina Asosiasi BMT se Indonesia (Absindo) Yogyakarta menunjukkan
sejak tahun 1995 sampai dengan 2006 telah terbentuk lebih dari 3500 BMT di
Indonesia. Sedangkan di Daerah Istimewa Yogyakarta sendiri terdapat 89 BMT.
Perkembangan BMT yang pesat ini kemungkinan
terjadi karena tingginya kebutuhan masyarakat akan jasa intermediasi
keaungan, namun di sisi lain akses ke
dunia perbankan yang lebih formal relatif sulit. BMT memberikan solusi bagi masyarakat untuk
mendapatkan dana dengan mudah dan cepat, terhindar dari jerat rentenir, dan
mengacu pada prinsip syariah. Namun
demikian terdapat pula BMT yang hanya sebagai kedok penipuan yang perlu
diwaspadai mraasyarakat.
Salah satu kasus yang menarik, Lembaga
Ombudsman Swasta Yogyakarta (LOS) telah menerima pengaduan menyangkut
BMT. Pengaduan ini bukan dilakukan oleh nasabah, tetapi berasal dari
pegawai BMT yang mengalami kesulitan karena pengurusnya (pemilik) telah
melarikan diri dengan membawa uang nasabah. BMT ini berhasil menghimpun dana dari
kira-kira 20.000 nasabah dengan akumulasi dana kira-kira 12 milyar rupiah.
Contoh di atas hanya menggambarkan satu
pengaduan yang diterima LOS. Investagasi yang dilakukan LOS menemukan fakta
setidaknya terdapat 5 BMT yang saat ini bermasalah dan berpotensi merugikan
masyarakat.
Masalah kelembagaan dituding sebagai
penyebab utama terjadinya berbagai
permasalahan di industri BMT ini. Sampai saat ini kelembagaan BMT sebagaimana
lembaga-lembaga keuangan mikro lainnya, belum diatur secara jelas. Apabila mengacu
pada ketentuan yang berlaku, menghimpun dana dari masyarakat hanya boleh
dilakukan oleh Bank. Dengan demikian, organisasi BMT harus tunduk pada
Undang-undang Perbankan dan dibawah pengawasan Bank Indonesia.
Kebanyakan BMT saat ini justru menyatakan
dirinya sebagai koperasi, artinya keberadaan BMT tunduk pada Undang-undang
Perkoperasian. Apabila BMT menyatakan
dirinya berbentuk koperasi simpan pinjam, maka harus memenuhi
persyaratan-persyaratan sebagai koperasi, seperti Anggaran Dasar, keanggotaan, dan
perangkat organisasi. Pada umumnya
semua BMT dengan bentuk koperasi sudah memenuhi persyaratan dalam hal Angaran
Dasar ini, karena hal ini menjadi aspek
normatif bagi Dinas Koperasi ketika akan menerbitkan payung hukum.
Anggota koperasi adalah pemilik sekaligus
pengguna jasa. Sedang keanggotaan koperasi secara umum didasarkan pada kesamaan
kepentingan ekonomi dalam lingkup usaha koperasi. Meskipun demikian dalam
koperasi ini dimungkinkan adanya anggota luar biasa yang persyaratan, hak, dan
kewajiban ditetapkan dalam Angaran Dasar.
Dalam beberapa kasus BMT terjadi
manipulasi keanggotaan, di mana masyarakat yang membutuhkan dana dicatat dalam
buku daftar anggota koperasi namun sebenarnya keanggotaan mereka hanya dalam
jangka waktu penggunaan dana itu. Terjadi pula kasus di mana pemilik modal
menanamkan modalnya dalam jumlah besar, sehingga mempunyai hak suara yang besar
dan menentukan arah kebijakan koperasi secara umum. Ini tentu saja bertentangan
dengan jiwa koperasi yang diarahkan pada kesejahteraan berdasarkan keanggotaan,
bukan berdasarkan besarnya kepemilikan dana.
BMT dengan bentuk kelembagaan koperasi juga
harus memenuhi persyaratan dalam perangkat organisasi yang meliputi Rapat
Anggota, Pengawasa, dan Pengurus. Dalam kenyetaannya tidak semua BMT yang
menyatakan diri sebagai koperasi menyelenggarakan Rapat Anggota secara rutin.
Bahkan yang menyelenggarakannya pun tidak mendudukkan Rapat Anggota sebagai
pemegang kekuasaan tertinggi. Pada umumnya pemegang kekuasaan tertinggi ada di
tangan pengurus atau ada di tangan pemilik modal mayoritas. Kondisi ini
berpotensi memunculkan penyalahgunaan dana anggota oleh pengurus, karena
lemahnya kontrol dari anggota.
Masalah SDM juga merupakan persoalan
mendasar di BMT. Melakukan fungsi intermediasi keuangan menuntut kemampuan
sumber daya manusia yang handal. Kegiatan BMT akan melibatkan jumlah
anggota/nasabah yang besar dan jumlah akumulasi keuangan yang sangat besar.
Karenanya, tata cara pengelolaan BMT harus memasukkan unsur-unsur pengendalian
manajemen yang baik. Sulit untuk dibayangkan bagaimana suatu pengendalian dapat
berjalan dengan baik apabila BMT hanya dikelola oleh segelintir orang (pemilik)
yang perannya sangat dominan. Selain masalah pengendalian, peran intermediasi
keuangan juga menuntut sumber daya manusia yang mampu mengelola aliran dana
dengan baik. Apabila dana-dana yang dihimpun dari anggota disalurkan tanpa
perhitungan yang baik, ada kemungkinan dana tersebut tidak dapat ditarik
kembali oleh BMT (dalam perbankan dikenal dengan istilah kredit macet). Apabila
hal ini yang terjadi, maka yang paling dirugikan adalah penyimpan dana.
Demikian juga dengan Pengawas BMT (Dewan Pengawas Syariah) yang belum mampu
berperan dengan baik. Misalnya terdapat BMT menjanjikan imbalan yang tinggi
kepada masyarakat pada awal kontrak. Kondisi ini bertentangan dengan prinsip syariah yang
dilandasi konsep bagi hasil.
Sementara itu bagi BMT yang memilih
beroperasi sebagai bank, maka harus mengikuti aturan dalam Undang-undang
Perbankan yang saat ini sudah ada. Kenapa
tidak banyak BMT yang beroperasi sebagai bank? Karena persyaratan yang berat
baik kuantitatif menyangkut permodalan, maupun kualitatif seperti SDM, sistem dan prosedur tata cara pelaporan, dan
pengawasan. Mengacu pada Undang-undang perbankan, BMT yang dalam kegiatannya
menghimpun dana secara langsung dari masyarakat dan menyalurkan kredit kepada
masyarakat harus memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia, sebagai sebuah
bank.
Sebenarnya, keberadaan BMT memang
dibutuhkan oleh masyarakat, hanya saja fungsi pengawasan terhadap operasional
BMT ini yang belum terumuskan dengan jelas karena ketidak jelasan dasar hukum
pendiriannya. Para pelaku BMT telah menyadari kondisi ini. Absindo sebagai
asosiasi BMT merumuskan perannya dalam tiga bidang, yaitu standarisasi, bidang
advokasi, dan bidang pengawasan. Peran pengawasan ini bertujuan untuk menjaga
konsistensi operasional terhadap prinsip organisasi, baik menyangkut aspek
syariah, manajemen, maupun keuangan. Hanya saja, kembali lagi ke permasalahan
dasar hukum BMT dan asosiasinya, masih dipertanyakan, apakah Absindo memiliki
kekuatan hukum yang cukup untuk mengawasi anggotanya. Bagaimana bentuk konkrit
menyangkut batasan pengawasan yang dilakukan Absindo. Mengacu pada
Undang-undang perbankan, Bank Indonesia sebagai pengawas Bank memiliki hak yang
sangat luas dalam melakukan pengawasan. Izin pendirian Bank diberikan oleh Bank
Indonesia. Bank Indonesia dapat mengeluarkan regulasi yang harus dipatuhi oleh
industri perbankan, sehingga memiliki kekuatan hukum dalam pengawasan.
Dari fenomena di atas, tidaklah berlebihan
jika Lembaga Ombudsman Swasta (LOS) DIY mendesakkan kepada pemerintah baik di
tingkat pusat maupun daerah untuk terbitnya ketentuan hukum tersendiri yang mengatur kelembagaan,
operasionalisasi, dan pengawasan BMT ataupun Lembaga Keuangan Mikro (LKM) lain
yang berbentuk bukan bank. Dengan kelembagaan dan operasionalisasi yang
terstandar akan mengeliminasi praktek-praktek merugikan masyarakat oleh LKM
pada umumnya dan BMT khususnya. Sebelum keluarnya ketentuan baku yang mengatur
BMT, peran asosiasi yang salah satunya melakukan pengawasan perlu ditingkatkan.
Adanya BMT yang beroperasi dengan merugikan masyarakat tentu saja akan merusah
citra BMT secara keseluruhan. Cita-cita BMT untuk meningkatkan ekonomi masyarakat
tentunya akan semakin jauh dari harapan.
MENGOPTIMALKAN PENGAWASAN PEMBAYARAN UMP
Upah Minimum Propinsi (UMP) DIY 2008 sudah
ditetapkan sebesar Rp586.000,- dan akan
diberlakukan mulai 1 januari 2008. Sebelum nominal nilai sebesar Rp586.000,- di
atas ditetapkan pada 12 November 2007
lalu, benyak desakan dari berbagai organisasi atau serikat pekerja supaya Dewan
pengupahan memperhitungkan Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Sementara itu angka di
atas menurut Ketua Apindo DIY dinilai memberatkan kalangan pengusaha, terlebih dengan menguatnya harga
minyak dunia yang akan berdampak pada peningkatan biaya produksi secara umum.
Terlepas dari pro dan kontra di atas,
ketika besaran UMP sudah ditetapkan, maka langkah selanjutnya adalah pengawasan
pembayaran upah sebesar minimal UMP tersebut dari pengusaha kepada pekerjanya.
Masalah pengawasan pembayaran upah sebesar minimal UMP ini menjadi
demikian mendesak karena “disinyalir”
masih banyak perusahaan yang tidak membayar upah pekerjanya minimal sebesar
UMP.
Kewenangan pengawasan secara yuridis ada
pada Dinas Tenaga Kerja setempat, baik di tingkat kabupaten maupun
kota. Lebih dari itu pada masing-masing
kantor dinas tersebut ada “pegawai pengawas” yang antara lain yang
antara lain bertugas untuk mengawasi pembayaran upah pekerja minimal sebesar
UMP. Namun demikian Dinas-dinas tersebut mempunyai keterbatasn jumlah personil
pengawas, sementara jumlah perusahaan yang harus diawasi dari waktu ke waktu
terus meningkat jumlahnya. Fenomena ini menjadi salah satu penyebab banyaknya
pelaku usaha yang tidak membayar upah pekerjanya minimal sebesar UMP, meskipun
sebenarnya secara financial mampu.
Dalam situasi ketenagakerjaan seperti
digambarkan di atas, wacana untuk memperluas pengawasan pembayaran upah minimal
sebesar UMPmenjadi demikian urgent.
Pertanyaan selanjutnya adalah menentukan siapa pelaku pengawasan yang
mempunyai komitmen dan juga sekaligus mempunyai kompetensi di bidang pengupahan
ini. tinggi dengan masalah pengupakan ini dan juga nerapan Upaya untuk memaksa
pelaku usaha agar minimal membayar upah pekerjanya sebesar UMP tertuang dalam
UU Ketenagakerjaan No 13 tahun 2003. Pelanggaran terhadap undang-undang
tersebut pelaku usaha dapat dikenai
sanksi penjara 1 tahun sampai selama-lamanya 4 tahun atau denda sebesar
100 juta rupiah dan sebanyak-banyaknya 400 juta rupiah.
Di lihat dari sisi sanksi yang dikenakan
“nampaknya” mampu memaksa pelaku usaha untuk mentaatinya. Kenyataannya sangat
jarang kita temukan dalam praktek pelaku usaha yang dikenai sanksi ini. Ada beberapa
pertimbangan yang menyebabkan sanksi ini jarang dikenakan antara lain tingginya
tingkat pengangguran sehingga ada kekhawatiran akan mempersempit lapangan
usaha. Dari sisi pelaku usahanya sendiri masih banyak yang menganggap pekerja
tidak lebih dari sekedar faktor produksi.
Dengan begitu apabila ada permasalahan dengan pekerja, maka dapat segera
disubstitusi dengan pekerja yang lain.
.Dalam situasi pengupahan seperti digambarkan di atas, wacana untuk memperluas
pelaku pengawasan pengupahan semakin menguat. Para pekerja diharapkan dapat
berperan sebagai pengawas pengupahan di tingkat perusahaan. Apabila
perusahaannya tidak memberikan upah sebesar UMP, maka para peerja ini akan
membahas masalahanya dengan pihak manajemen ataupun pelaku usaha. Jika
pembahasan di tingkat perusahaan yang bersifat bipartite ini belum memberikan
hasil, maka masalahnya dapat dikonsultasikan kepada kantor dinas
ketenagaklerjaan di tingkat kabupaten ataupun kota. Bahkan dalam situasi
tertentu pekerja dapat melaporkan maslahnya ke kantor tersebut.
Wacana pengawasan pengupahan ini juga dapat
diperluas lagi pada tingkat serikat atau organisasi pekerja. Serikat pekerja
yang anggotanya adalah para pekerja ini diharapkan dapat berperan aktif baik
dalam penentuan besarnya upah di tingkat perusahaan maupun dalam pengawasan
pembayarannya. Pengawasan yang dilakukan
oleh serikat pekerja ini diharapkan lebih efektif karena mempunyai bargaining
power yang lebih kuat dibanding dengan pekerja secara individual. Dari sudut pandang pelaku usaha,
pengawasan ini juga dapat bernilai positif, di mana permasalahan pengupahan
dapat segera dikomunikasikan untuk brsama-sama dipecahkan. Munculnya pemogokan
bukan hanya merugikan secara gfinansial bagi kedua belah pihak tetapi juga merusak hbungan kerja yang sudah
terbangun sebelumnya. Ketidakmampuan pelaku usaha dalam membayar upah minimal
sebesar UMP juga dapat dikomunikasikan
dengan pekerja ataupun serikat pekerjanya, untuk selanjutnya diambil suatu kesepakatan.
Sementara itu dinas ketenagakerjaan di tingkat kabupaten/kota dapat mengambil
peran dalam legalisasi pelaku usaha yang
mengajukan penundaan pembayaran UMP sesuai dengan ketentuan yang
berlaku.