Halaman

Senin, 10 Juni 2013

ETIKA BISNIS



 Pengawasan BMT Menuju Bisnis Yang Sehat
(Kedaulatan Rakyat, Sabtu, 29 Desember 2007)

Dalam beberapa tahun terakhir Baitul Maal wa Tamwil (BMT) mengalami perkembangan yang sangat pesat. Informasi yang disampaikan oleh Dewan Pembina Asosiasi BMT se Indonesia (Absindo) Yogyakarta menunjukkan sejak tahun 1995 sampai dengan 2006 telah terbentuk lebih dari 3500 BMT di Indonesia. Sedangkan di Daerah Istimewa Yogyakarta sendiri terdapat 89 BMT.

Perkembangan BMT yang pesat ini kemungkinan terjadi karena tingginya kebutuhan masyarakat akan jasa intermediasi keaungan,  namun di sisi lain akses ke dunia perbankan yang lebih formal relatif sulit. BMT  memberikan solusi bagi masyarakat untuk mendapatkan dana dengan mudah dan cepat, terhindar dari jerat rentenir, dan mengacu pada prinsip syariah.  Namun demikian terdapat pula BMT yang hanya sebagai kedok penipuan yang perlu diwaspadai mraasyarakat.

Salah satu kasus yang menarik, Lembaga Ombudsman Swasta Yogyakarta (LOS) telah menerima pengaduan  menyangkut  BMT. Pengaduan ini bukan dilakukan oleh nasabah, tetapi berasal dari pegawai BMT yang mengalami kesulitan karena pengurusnya (pemilik) telah melarikan diri dengan membawa uang nasabah. BMT ini berhasil menghimpun dana dari kira-kira 20.000 nasabah dengan akumulasi dana kira-kira 12 milyar rupiah.
Contoh di atas hanya menggambarkan satu pengaduan yang diterima LOS. Investagasi yang dilakukan LOS menemukan fakta setidaknya terdapat 5 BMT yang saat ini bermasalah dan berpotensi merugikan masyarakat.

Masalah kelembagaan dituding sebagai penyebab utama  terjadinya berbagai permasalahan di industri BMT ini. Sampai saat ini kelembagaan BMT sebagaimana lembaga-lembaga keuangan mikro lainnya, belum diatur secara jelas. Apabila mengacu pada ketentuan yang berlaku, menghimpun dana dari masyarakat hanya boleh dilakukan oleh Bank. Dengan demikian, organisasi BMT harus tunduk pada Undang-undang Perbankan dan dibawah pengawasan Bank Indonesia.

Kebanyakan BMT saat ini justru menyatakan dirinya sebagai koperasi, artinya keberadaan BMT tunduk pada Undang-undang Perkoperasian.  Apabila BMT menyatakan dirinya berbentuk koperasi simpan pinjam, maka harus memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai koperasi, seperti Anggaran Dasar, keanggotaan, dan perangkat organisasi.   Pada umumnya semua BMT dengan bentuk koperasi sudah memenuhi persyaratan dalam hal Angaran Dasar  ini, karena hal ini menjadi aspek normatif bagi Dinas Koperasi ketika akan menerbitkan payung hukum.

Anggota koperasi adalah pemilik sekaligus pengguna jasa. Sedang keanggotaan koperasi secara umum didasarkan pada kesamaan kepentingan ekonomi dalam lingkup usaha koperasi. Meskipun demikian dalam koperasi ini dimungkinkan adanya anggota luar biasa yang persyaratan, hak, dan kewajiban ditetapkan dalam Angaran Dasar.  Dalam beberapa kasus BMT  terjadi manipulasi keanggotaan, di mana masyarakat yang membutuhkan dana dicatat dalam buku daftar anggota koperasi namun sebenarnya keanggotaan mereka hanya dalam jangka waktu penggunaan dana itu. Terjadi pula kasus di mana pemilik modal menanamkan modalnya dalam jumlah besar, sehingga mempunyai hak suara yang besar dan menentukan arah kebijakan koperasi secara umum. Ini tentu saja bertentangan dengan jiwa koperasi yang diarahkan pada kesejahteraan berdasarkan keanggotaan, bukan berdasarkan besarnya kepemilikan dana.

BMT dengan bentuk kelembagaan koperasi juga harus memenuhi persyaratan dalam perangkat organisasi yang meliputi Rapat Anggota, Pengawasa, dan Pengurus. Dalam kenyetaannya tidak semua BMT yang menyatakan diri sebagai koperasi menyelenggarakan Rapat Anggota secara rutin. Bahkan yang menyelenggarakannya pun tidak mendudukkan Rapat Anggota sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Pada umumnya pemegang kekuasaan tertinggi ada di tangan pengurus atau ada di tangan pemilik modal mayoritas. Kondisi ini berpotensi memunculkan penyalahgunaan dana anggota oleh pengurus, karena lemahnya kontrol dari anggota.
Masalah SDM juga merupakan persoalan mendasar di BMT. Melakukan fungsi intermediasi keuangan menuntut kemampuan sumber daya manusia yang handal. Kegiatan BMT akan melibatkan jumlah anggota/nasabah yang besar dan jumlah akumulasi keuangan yang sangat besar. Karenanya, tata cara pengelolaan BMT harus memasukkan unsur-unsur pengendalian manajemen yang baik. Sulit untuk dibayangkan bagaimana suatu pengendalian dapat berjalan dengan baik apabila BMT hanya dikelola oleh segelintir orang (pemilik) yang perannya sangat dominan. Selain masalah pengendalian, peran intermediasi keuangan juga menuntut sumber daya manusia yang mampu mengelola aliran dana dengan baik. Apabila dana-dana yang dihimpun dari anggota disalurkan tanpa perhitungan yang baik, ada kemungkinan dana tersebut tidak dapat ditarik kembali oleh BMT (dalam perbankan dikenal dengan istilah kredit macet). Apabila hal ini yang terjadi, maka yang paling dirugikan adalah penyimpan dana.
Demikian juga dengan Pengawas  BMT (Dewan Pengawas Syariah) yang belum mampu berperan dengan baik. Misalnya terdapat BMT menjanjikan imbalan yang tinggi kepada masyarakat pada awal kontrak. Kondisi ini  bertentangan dengan prinsip syariah yang dilandasi konsep bagi hasil.

Sementara itu bagi BMT yang memilih beroperasi sebagai bank, maka harus mengikuti aturan dalam Undang-undang Perbankan yang saat ini sudah ada.  Kenapa tidak banyak BMT yang beroperasi sebagai bank? Karena persyaratan yang berat baik kuantitatif menyangkut permodalan, maupun kualitatif seperti SDM,  sistem dan prosedur tata cara pelaporan, dan pengawasan. Mengacu pada Undang-undang perbankan, BMT yang dalam kegiatannya menghimpun dana secara langsung dari masyarakat dan menyalurkan kredit kepada masyarakat harus memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia, sebagai sebuah bank.
Sebenarnya, keberadaan BMT memang dibutuhkan oleh masyarakat, hanya saja fungsi pengawasan terhadap operasional BMT ini yang belum terumuskan dengan jelas karena ketidak jelasan dasar hukum pendiriannya. Para pelaku BMT telah menyadari kondisi ini. Absindo sebagai asosiasi BMT merumuskan perannya dalam tiga bidang, yaitu standarisasi, bidang advokasi, dan bidang pengawasan. Peran pengawasan ini bertujuan untuk menjaga konsistensi operasional terhadap prinsip organisasi, baik menyangkut aspek syariah, manajemen, maupun keuangan. Hanya saja, kembali lagi ke permasalahan dasar hukum BMT dan asosiasinya, masih dipertanyakan, apakah Absindo memiliki kekuatan hukum yang cukup untuk mengawasi anggotanya. Bagaimana bentuk konkrit menyangkut batasan pengawasan yang dilakukan Absindo. Mengacu pada Undang-undang perbankan, Bank Indonesia sebagai pengawas Bank memiliki hak yang sangat luas dalam melakukan pengawasan. Izin pendirian Bank diberikan oleh Bank Indonesia. Bank Indonesia dapat mengeluarkan regulasi yang harus dipatuhi oleh industri perbankan, sehingga memiliki kekuatan hukum dalam pengawasan.

Dari fenomena di atas, tidaklah berlebihan jika Lembaga Ombudsman Swasta (LOS) DIY mendesakkan kepada pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah untuk terbitnya ketentuan hukum  tersendiri yang mengatur kelembagaan, operasionalisasi, dan pengawasan BMT ataupun Lembaga Keuangan Mikro (LKM) lain yang berbentuk bukan bank. Dengan kelembagaan dan operasionalisasi yang terstandar akan mengeliminasi praktek-praktek merugikan masyarakat oleh LKM pada umumnya dan BMT khususnya. Sebelum keluarnya ketentuan baku yang mengatur BMT, peran asosiasi yang salah satunya melakukan pengawasan perlu ditingkatkan. Adanya BMT yang beroperasi dengan merugikan masyarakat tentu saja akan merusah citra BMT secara keseluruhan. Cita-cita BMT untuk meningkatkan ekonomi masyarakat tentunya akan semakin jauh dari harapan.
MENGOPTIMALKAN  PENGAWASAN PEMBAYARAN UMP
Upah Minimum Propinsi (UMP) DIY 2008 sudah ditetapkan sebesar Rp586.000,-  dan akan diberlakukan mulai 1 januari 2008. Sebelum nominal nilai sebesar Rp586.000,- di atas ditetapkan  pada 12 November 2007 lalu, benyak desakan dari berbagai organisasi atau serikat pekerja supaya Dewan pengupahan memperhitungkan Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Sementara itu angka di atas menurut Ketua Apindo DIY dinilai memberatkan kalangan  pengusaha, terlebih dengan menguatnya harga minyak dunia yang akan berdampak pada peningkatan biaya produksi secara umum.
Terlepas dari pro dan kontra di atas, ketika besaran UMP sudah ditetapkan, maka langkah selanjutnya adalah pengawasan pembayaran upah sebesar minimal UMP tersebut dari pengusaha kepada pekerjanya. Masalah pengawasan pembayaran upah sebesar minimal UMP ini menjadi demikian  mendesak karena “disinyalir” masih banyak perusahaan yang tidak membayar upah pekerjanya minimal sebesar UMP.
Kewenangan pengawasan secara yuridis ada pada Dinas Tenaga  Kerja  setempat, baik di tingkat kabupaten maupun kota. Lebih dari itu pada masing-masing  kantor dinas tersebut ada “pegawai pengawas” yang antara lain yang antara lain bertugas untuk mengawasi pembayaran upah pekerja minimal sebesar UMP. Namun demikian Dinas-dinas tersebut mempunyai keterbatasn jumlah personil pengawas, sementara jumlah perusahaan yang harus diawasi dari waktu ke waktu terus meningkat jumlahnya. Fenomena ini menjadi salah satu penyebab banyaknya pelaku usaha yang tidak membayar upah pekerjanya minimal sebesar UMP, meskipun sebenarnya secara financial mampu.
Dalam situasi ketenagakerjaan seperti digambarkan di atas, wacana untuk memperluas pengawasan pembayaran upah minimal sebesar UMPmenjadi demikian urgent.  Pertanyaan selanjutnya adalah menentukan siapa pelaku pengawasan yang mempunyai komitmen dan juga sekaligus mempunyai kompetensi di bidang pengupahan ini. tinggi dengan masalah pengupakan ini dan juga nerapan Upaya untuk memaksa pelaku usaha agar minimal membayar upah pekerjanya sebesar UMP tertuang dalam UU Ketenagakerjaan No 13 tahun 2003. Pelanggaran terhadap undang-undang tersebut pelaku usaha dapat dikenai  sanksi penjara 1 tahun sampai selama-lamanya 4 tahun atau denda sebesar 100 juta rupiah dan sebanyak-banyaknya 400 juta rupiah.
Di lihat dari sisi sanksi yang dikenakan “nampaknya” mampu memaksa pelaku usaha untuk mentaatinya. Kenyataannya sangat jarang kita temukan dalam praktek pelaku usaha yang dikenai sanksi ini. Ada beberapa pertimbangan yang menyebabkan sanksi ini jarang dikenakan antara lain tingginya tingkat pengangguran sehingga ada kekhawatiran akan mempersempit lapangan usaha. Dari sisi pelaku usahanya sendiri masih banyak yang menganggap pekerja tidak lebih dari sekedar faktor produksi.  Dengan begitu apabila ada permasalahan dengan pekerja, maka dapat segera disubstitusi dengan pekerja yang lain.
.Dalam situasi pengupahan seperti  digambarkan di atas, wacana untuk memperluas pelaku pengawasan pengupahan semakin menguat. Para pekerja diharapkan dapat berperan sebagai pengawas pengupahan di tingkat perusahaan. Apabila perusahaannya tidak memberikan upah sebesar UMP, maka para peerja ini  akan  membahas masalahanya dengan pihak manajemen ataupun pelaku usaha. Jika pembahasan di tingkat perusahaan yang bersifat bipartite ini belum memberikan hasil, maka masalahnya dapat dikonsultasikan kepada kantor dinas ketenagaklerjaan di tingkat kabupaten ataupun kota. Bahkan dalam situasi tertentu pekerja dapat melaporkan maslahnya ke kantor tersebut.
Wacana pengawasan pengupahan ini juga dapat diperluas lagi pada tingkat serikat atau organisasi pekerja. Serikat pekerja yang anggotanya adalah para pekerja ini diharapkan dapat berperan aktif baik dalam penentuan besarnya upah di tingkat perusahaan maupun dalam pengawasan pembayarannya.  Pengawasan yang dilakukan oleh serikat pekerja ini diharapkan lebih efektif karena mempunyai bargaining power yang lebih kuat dibanding dengan pekerja secara individual.              Dari sudut pandang pelaku usaha, pengawasan ini juga dapat bernilai positif, di mana permasalahan pengupahan dapat segera dikomunikasikan untuk brsama-sama dipecahkan. Munculnya pemogokan bukan hanya merugikan secara gfinansial bagi kedua belah pihak  tetapi juga merusak hbungan kerja yang sudah terbangun sebelumnya. Ketidakmampuan pelaku usaha dalam membayar upah minimal sebesar UMP  juga dapat dikomunikasikan dengan pekerja ataupun serikat pekerjanya, untuk selanjutnya diambil suatu kesepakatan. Sementara itu dinas ketenagakerjaan di tingkat kabupaten/kota dapat mengambil peran dalam legalisasi pelaku usaha yang  mengajukan penundaan pembayaran UMP sesuai dengan ketentuan yang berlaku.