Halaman

Senin, 10 Juni 2013

ETIKA BISNIS



 Pengawasan BMT Menuju Bisnis Yang Sehat
(Kedaulatan Rakyat, Sabtu, 29 Desember 2007)

Dalam beberapa tahun terakhir Baitul Maal wa Tamwil (BMT) mengalami perkembangan yang sangat pesat. Informasi yang disampaikan oleh Dewan Pembina Asosiasi BMT se Indonesia (Absindo) Yogyakarta menunjukkan sejak tahun 1995 sampai dengan 2006 telah terbentuk lebih dari 3500 BMT di Indonesia. Sedangkan di Daerah Istimewa Yogyakarta sendiri terdapat 89 BMT.

Perkembangan BMT yang pesat ini kemungkinan terjadi karena tingginya kebutuhan masyarakat akan jasa intermediasi keaungan,  namun di sisi lain akses ke dunia perbankan yang lebih formal relatif sulit. BMT  memberikan solusi bagi masyarakat untuk mendapatkan dana dengan mudah dan cepat, terhindar dari jerat rentenir, dan mengacu pada prinsip syariah.  Namun demikian terdapat pula BMT yang hanya sebagai kedok penipuan yang perlu diwaspadai mraasyarakat.

Salah satu kasus yang menarik, Lembaga Ombudsman Swasta Yogyakarta (LOS) telah menerima pengaduan  menyangkut  BMT. Pengaduan ini bukan dilakukan oleh nasabah, tetapi berasal dari pegawai BMT yang mengalami kesulitan karena pengurusnya (pemilik) telah melarikan diri dengan membawa uang nasabah. BMT ini berhasil menghimpun dana dari kira-kira 20.000 nasabah dengan akumulasi dana kira-kira 12 milyar rupiah.
Contoh di atas hanya menggambarkan satu pengaduan yang diterima LOS. Investagasi yang dilakukan LOS menemukan fakta setidaknya terdapat 5 BMT yang saat ini bermasalah dan berpotensi merugikan masyarakat.

Masalah kelembagaan dituding sebagai penyebab utama  terjadinya berbagai permasalahan di industri BMT ini. Sampai saat ini kelembagaan BMT sebagaimana lembaga-lembaga keuangan mikro lainnya, belum diatur secara jelas. Apabila mengacu pada ketentuan yang berlaku, menghimpun dana dari masyarakat hanya boleh dilakukan oleh Bank. Dengan demikian, organisasi BMT harus tunduk pada Undang-undang Perbankan dan dibawah pengawasan Bank Indonesia.

Kebanyakan BMT saat ini justru menyatakan dirinya sebagai koperasi, artinya keberadaan BMT tunduk pada Undang-undang Perkoperasian.  Apabila BMT menyatakan dirinya berbentuk koperasi simpan pinjam, maka harus memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai koperasi, seperti Anggaran Dasar, keanggotaan, dan perangkat organisasi.   Pada umumnya semua BMT dengan bentuk koperasi sudah memenuhi persyaratan dalam hal Angaran Dasar  ini, karena hal ini menjadi aspek normatif bagi Dinas Koperasi ketika akan menerbitkan payung hukum.

Anggota koperasi adalah pemilik sekaligus pengguna jasa. Sedang keanggotaan koperasi secara umum didasarkan pada kesamaan kepentingan ekonomi dalam lingkup usaha koperasi. Meskipun demikian dalam koperasi ini dimungkinkan adanya anggota luar biasa yang persyaratan, hak, dan kewajiban ditetapkan dalam Angaran Dasar.  Dalam beberapa kasus BMT  terjadi manipulasi keanggotaan, di mana masyarakat yang membutuhkan dana dicatat dalam buku daftar anggota koperasi namun sebenarnya keanggotaan mereka hanya dalam jangka waktu penggunaan dana itu. Terjadi pula kasus di mana pemilik modal menanamkan modalnya dalam jumlah besar, sehingga mempunyai hak suara yang besar dan menentukan arah kebijakan koperasi secara umum. Ini tentu saja bertentangan dengan jiwa koperasi yang diarahkan pada kesejahteraan berdasarkan keanggotaan, bukan berdasarkan besarnya kepemilikan dana.

BMT dengan bentuk kelembagaan koperasi juga harus memenuhi persyaratan dalam perangkat organisasi yang meliputi Rapat Anggota, Pengawasa, dan Pengurus. Dalam kenyetaannya tidak semua BMT yang menyatakan diri sebagai koperasi menyelenggarakan Rapat Anggota secara rutin. Bahkan yang menyelenggarakannya pun tidak mendudukkan Rapat Anggota sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Pada umumnya pemegang kekuasaan tertinggi ada di tangan pengurus atau ada di tangan pemilik modal mayoritas. Kondisi ini berpotensi memunculkan penyalahgunaan dana anggota oleh pengurus, karena lemahnya kontrol dari anggota.
Masalah SDM juga merupakan persoalan mendasar di BMT. Melakukan fungsi intermediasi keuangan menuntut kemampuan sumber daya manusia yang handal. Kegiatan BMT akan melibatkan jumlah anggota/nasabah yang besar dan jumlah akumulasi keuangan yang sangat besar. Karenanya, tata cara pengelolaan BMT harus memasukkan unsur-unsur pengendalian manajemen yang baik. Sulit untuk dibayangkan bagaimana suatu pengendalian dapat berjalan dengan baik apabila BMT hanya dikelola oleh segelintir orang (pemilik) yang perannya sangat dominan. Selain masalah pengendalian, peran intermediasi keuangan juga menuntut sumber daya manusia yang mampu mengelola aliran dana dengan baik. Apabila dana-dana yang dihimpun dari anggota disalurkan tanpa perhitungan yang baik, ada kemungkinan dana tersebut tidak dapat ditarik kembali oleh BMT (dalam perbankan dikenal dengan istilah kredit macet). Apabila hal ini yang terjadi, maka yang paling dirugikan adalah penyimpan dana.
Demikian juga dengan Pengawas  BMT (Dewan Pengawas Syariah) yang belum mampu berperan dengan baik. Misalnya terdapat BMT menjanjikan imbalan yang tinggi kepada masyarakat pada awal kontrak. Kondisi ini  bertentangan dengan prinsip syariah yang dilandasi konsep bagi hasil.

Sementara itu bagi BMT yang memilih beroperasi sebagai bank, maka harus mengikuti aturan dalam Undang-undang Perbankan yang saat ini sudah ada.  Kenapa tidak banyak BMT yang beroperasi sebagai bank? Karena persyaratan yang berat baik kuantitatif menyangkut permodalan, maupun kualitatif seperti SDM,  sistem dan prosedur tata cara pelaporan, dan pengawasan. Mengacu pada Undang-undang perbankan, BMT yang dalam kegiatannya menghimpun dana secara langsung dari masyarakat dan menyalurkan kredit kepada masyarakat harus memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia, sebagai sebuah bank.
Sebenarnya, keberadaan BMT memang dibutuhkan oleh masyarakat, hanya saja fungsi pengawasan terhadap operasional BMT ini yang belum terumuskan dengan jelas karena ketidak jelasan dasar hukum pendiriannya. Para pelaku BMT telah menyadari kondisi ini. Absindo sebagai asosiasi BMT merumuskan perannya dalam tiga bidang, yaitu standarisasi, bidang advokasi, dan bidang pengawasan. Peran pengawasan ini bertujuan untuk menjaga konsistensi operasional terhadap prinsip organisasi, baik menyangkut aspek syariah, manajemen, maupun keuangan. Hanya saja, kembali lagi ke permasalahan dasar hukum BMT dan asosiasinya, masih dipertanyakan, apakah Absindo memiliki kekuatan hukum yang cukup untuk mengawasi anggotanya. Bagaimana bentuk konkrit menyangkut batasan pengawasan yang dilakukan Absindo. Mengacu pada Undang-undang perbankan, Bank Indonesia sebagai pengawas Bank memiliki hak yang sangat luas dalam melakukan pengawasan. Izin pendirian Bank diberikan oleh Bank Indonesia. Bank Indonesia dapat mengeluarkan regulasi yang harus dipatuhi oleh industri perbankan, sehingga memiliki kekuatan hukum dalam pengawasan.

Dari fenomena di atas, tidaklah berlebihan jika Lembaga Ombudsman Swasta (LOS) DIY mendesakkan kepada pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah untuk terbitnya ketentuan hukum  tersendiri yang mengatur kelembagaan, operasionalisasi, dan pengawasan BMT ataupun Lembaga Keuangan Mikro (LKM) lain yang berbentuk bukan bank. Dengan kelembagaan dan operasionalisasi yang terstandar akan mengeliminasi praktek-praktek merugikan masyarakat oleh LKM pada umumnya dan BMT khususnya. Sebelum keluarnya ketentuan baku yang mengatur BMT, peran asosiasi yang salah satunya melakukan pengawasan perlu ditingkatkan. Adanya BMT yang beroperasi dengan merugikan masyarakat tentu saja akan merusah citra BMT secara keseluruhan. Cita-cita BMT untuk meningkatkan ekonomi masyarakat tentunya akan semakin jauh dari harapan.
MENGOPTIMALKAN  PENGAWASAN PEMBAYARAN UMP
Upah Minimum Propinsi (UMP) DIY 2008 sudah ditetapkan sebesar Rp586.000,-  dan akan diberlakukan mulai 1 januari 2008. Sebelum nominal nilai sebesar Rp586.000,- di atas ditetapkan  pada 12 November 2007 lalu, benyak desakan dari berbagai organisasi atau serikat pekerja supaya Dewan pengupahan memperhitungkan Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Sementara itu angka di atas menurut Ketua Apindo DIY dinilai memberatkan kalangan  pengusaha, terlebih dengan menguatnya harga minyak dunia yang akan berdampak pada peningkatan biaya produksi secara umum.
Terlepas dari pro dan kontra di atas, ketika besaran UMP sudah ditetapkan, maka langkah selanjutnya adalah pengawasan pembayaran upah sebesar minimal UMP tersebut dari pengusaha kepada pekerjanya. Masalah pengawasan pembayaran upah sebesar minimal UMP ini menjadi demikian  mendesak karena “disinyalir” masih banyak perusahaan yang tidak membayar upah pekerjanya minimal sebesar UMP.
Kewenangan pengawasan secara yuridis ada pada Dinas Tenaga  Kerja  setempat, baik di tingkat kabupaten maupun kota. Lebih dari itu pada masing-masing  kantor dinas tersebut ada “pegawai pengawas” yang antara lain yang antara lain bertugas untuk mengawasi pembayaran upah pekerja minimal sebesar UMP. Namun demikian Dinas-dinas tersebut mempunyai keterbatasn jumlah personil pengawas, sementara jumlah perusahaan yang harus diawasi dari waktu ke waktu terus meningkat jumlahnya. Fenomena ini menjadi salah satu penyebab banyaknya pelaku usaha yang tidak membayar upah pekerjanya minimal sebesar UMP, meskipun sebenarnya secara financial mampu.
Dalam situasi ketenagakerjaan seperti digambarkan di atas, wacana untuk memperluas pengawasan pembayaran upah minimal sebesar UMPmenjadi demikian urgent.  Pertanyaan selanjutnya adalah menentukan siapa pelaku pengawasan yang mempunyai komitmen dan juga sekaligus mempunyai kompetensi di bidang pengupahan ini. tinggi dengan masalah pengupakan ini dan juga nerapan Upaya untuk memaksa pelaku usaha agar minimal membayar upah pekerjanya sebesar UMP tertuang dalam UU Ketenagakerjaan No 13 tahun 2003. Pelanggaran terhadap undang-undang tersebut pelaku usaha dapat dikenai  sanksi penjara 1 tahun sampai selama-lamanya 4 tahun atau denda sebesar 100 juta rupiah dan sebanyak-banyaknya 400 juta rupiah.
Di lihat dari sisi sanksi yang dikenakan “nampaknya” mampu memaksa pelaku usaha untuk mentaatinya. Kenyataannya sangat jarang kita temukan dalam praktek pelaku usaha yang dikenai sanksi ini. Ada beberapa pertimbangan yang menyebabkan sanksi ini jarang dikenakan antara lain tingginya tingkat pengangguran sehingga ada kekhawatiran akan mempersempit lapangan usaha. Dari sisi pelaku usahanya sendiri masih banyak yang menganggap pekerja tidak lebih dari sekedar faktor produksi.  Dengan begitu apabila ada permasalahan dengan pekerja, maka dapat segera disubstitusi dengan pekerja yang lain.
.Dalam situasi pengupahan seperti  digambarkan di atas, wacana untuk memperluas pelaku pengawasan pengupahan semakin menguat. Para pekerja diharapkan dapat berperan sebagai pengawas pengupahan di tingkat perusahaan. Apabila perusahaannya tidak memberikan upah sebesar UMP, maka para peerja ini  akan  membahas masalahanya dengan pihak manajemen ataupun pelaku usaha. Jika pembahasan di tingkat perusahaan yang bersifat bipartite ini belum memberikan hasil, maka masalahnya dapat dikonsultasikan kepada kantor dinas ketenagaklerjaan di tingkat kabupaten ataupun kota. Bahkan dalam situasi tertentu pekerja dapat melaporkan maslahnya ke kantor tersebut.
Wacana pengawasan pengupahan ini juga dapat diperluas lagi pada tingkat serikat atau organisasi pekerja. Serikat pekerja yang anggotanya adalah para pekerja ini diharapkan dapat berperan aktif baik dalam penentuan besarnya upah di tingkat perusahaan maupun dalam pengawasan pembayarannya.  Pengawasan yang dilakukan oleh serikat pekerja ini diharapkan lebih efektif karena mempunyai bargaining power yang lebih kuat dibanding dengan pekerja secara individual.              Dari sudut pandang pelaku usaha, pengawasan ini juga dapat bernilai positif, di mana permasalahan pengupahan dapat segera dikomunikasikan untuk brsama-sama dipecahkan. Munculnya pemogokan bukan hanya merugikan secara gfinansial bagi kedua belah pihak  tetapi juga merusak hbungan kerja yang sudah terbangun sebelumnya. Ketidakmampuan pelaku usaha dalam membayar upah minimal sebesar UMP  juga dapat dikomunikasikan dengan pekerja ataupun serikat pekerjanya, untuk selanjutnya diambil suatu kesepakatan. Sementara itu dinas ketenagakerjaan di tingkat kabupaten/kota dapat mengambil peran dalam legalisasi pelaku usaha yang  mengajukan penundaan pembayaran UMP sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Kamis, 06 Juni 2013

ISTILAH POPULER PERBANKAN
AGUNAN (COLLATERAL)

Jaminan yang diserahkan nasabah debitur kepada
bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau
pembiayaan.
ANJUNGAN TUNAI MANDIRI (ATM)
Mesin dengan sistem komputer yang diaktifkan
dengan menggunakan kartu magnetik bank yang
berkode atau bersandi. Melalui mesin tersebut
nasabah dapat menabung, mengambil uang tunai,
mentransfer dana antar-rekening, dan transaksi
rutin lainnya.
BILYET
Formulir, nota, dan bukti tertulis lain yang dapat
membuktikan transaksi, berisi keterangan atau
perintah membayar.
BUNGA BANK (BANK INTEREST)
Sejumlah imbalan yang diberikan oleh bank kepada
nasabah atas dana yang disimpan di bank yang
dihitung sebesar persentase tertentu dari pokok
simpanan dan jangka waktu simpanan ataupun
tingkat bunga yang dikenakan terjadap pinjaman
yang diberikan bank kepada debiturnya.
CEK (CHEQUE)
Perintah tertulis nasabah kepada bank untuk menarik dananya sejumlah tertentu atas namanya
atau atas unjuk.
DAFTAR HITASM (BLACK LIST)
Daftar nama nasabah perorangan atau perusahaan yang terkena sanksi karena telah melakukan
tindakan tertentu yang merugikan bank dan
masyarakat.
DEPOSITO BERJANGKA (TIME DEPOSIT)
Simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan
pada waktu tertentu berdasarkan perjanjian nasabah
penyimpan dengan bank.
GIRO (CURRENT ACCOUNT)
Simpanan yang penarikannya dapat dilakukan setiap
saat dengan menggunakan cek, bilyet gori, sarana
perintah pembayaran lainnya, atau dengan
pemindahbukuan.
INKASO (COLLECTION)
Penagihan cek, wesel, dan surat utang lain kepada
penerbit surat berharga dan menerima pembayaran
dari bank pembayar (paying bank)
JAMINAN BANK (BANK GUARANTEE)
Jaminan pembayaran yang diberikan kepada pihak
penerima jaminan, apabila pihak yang dijamin tidak
memenuhi kewajibannya.
KARTU DEBIT (DEBIT CARD)
Kartu bank yang dapat digunakan untuk membayar
suatu transaksi/dan atau menarik sejumlah dana
atas beban rekening pemegang kartu yang
bersangkutan dengan menggunakan PIN (personal
identification number)
KARTU KREDIT (CREDIT CARD)
Kartu yang diterbitkan oleh bank atau perusahaan
pengelola kartu kredit yang memberikan hak kepada
orang yang memenuhi persyaratan tertentu yang
namanya tertera dalam kartu untuk
menggunakannya sebagai alat pembayaran secara
kredit atas perolehan barang atau jasa, atau untuk
menarik uang tunai dalam batas kredit sebagaimana
telah ditentukan oleh bank atai perusahaan
pengelola kartu kredit.
KIRIMAN DANA (FUND TRANSFER)
1. Perpindahan dana antar-rekening yang
berhubungan atau kepada rekening pihak
ketiga;
2. Kiriman uang luar negeri antara lembaga
keuangan pengirim dan lembaga keuangan
lainnya sebagai penerima.
KLIRING (CLEARING)
Perhitungan utang piutang antar para peserta
secara terpusat di satu tempat dengan cara
saling menyerahkan surat-surat berharga dan
surat-surat dagang yang telah ditetapkan untuk
dapat diperhitungkan.
KOTAK SIMPANAN (SAFE DEPOSIT BOX)
Jasa penyewaan kotak penyimpanan harta atau
surat-surat berharga yang dirancang secara
khusus dari bahan baja dan ditempatkan dalam
ruang khasanah yang kokoh, tahan bongkar dan
tahan api untuk menjaga keamanan barang yang
disimpan dan memberikan rasa aman bagi
penggunanya.
KREDIT (CREDIT)
Penyediaan uang atau tagihan yang dapat
dipersamakan dengan itu berdasarkan
persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam
antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan
pihak peminjam untuk melunasi utangnya
setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian
bunga.
LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN (LPS)
Badan hukum yang menyelenggarakan kegiatan
penjaminan atas simpanan nasabah.
PIN (PERSONAL IDENTIFICATION NUMBER)
Nomor rahasia yang diberikan kepada pemegang
kartu (kartu kredit, kartu ATM, kartu debit, dan
sebagainya) yang nomor kodenya dapat
diberikan oleh bank atau perusahaan
pembiayaan atau ditentukan sendiri oleh
pemegang kartu.
PRINSIP MENGENAL NASABAH (KNOW
YOUR CUSTOMER)

Prinsip yang diterapkan bank untuk mengetahui
identitas Anda sebagai nasabah dan memantau
kegiatan transaksi nasabah.
SISTEM INFORMASI DEBITUR (SID)
Sistem yang menyediakan informasi mengenai
debitur yang merupakan hasil olahan dari
laporan debitur yang diterima oleh Bank
Indonesia dari lembaga pelapor.
TABUNGAN (SAVINGS)
Simpanan yang penarikannya dapat dilakukan
menurut syarat tertentu yang disepakati, tetapi
tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro,
dan/atau alat lainnya yang dipersamakan dengan
itu.
TRANSFER/REMITTANCE
Jasa mengirimkan uang dari pemilik rekening
satu ke pemilik rekening yang lainnya atau
pemilik rekening yang sama, dari kota satu ke
kota lainnya atau ke kota yang sama, dalam
mata uang Rupiah atau mata uang asing.
UNIT PELAYANAN NASABAH (CUSTOMER
RELATION)

Bagian atau unit bank yang bertanggung jawab
untuk menjawab pertanyaan dan memecahkan
keluhan yang dihadapi nasabah. Unit ini
biasanya disebut unit pelayanan nasabah atu
untuk pelayanan nasabah melalui telepon
disebut call center.
Disebarkan sebagai bagian dari Program Edukasi
Masyarakat dalam rangka Implementasi Arsitektur
Perbankan Indonesia”
Pastikan Anda membaca syarat dan ketentuan dari
setiap produk perbankan yang akan Anda gunakan!
Informasi lebih lanjut dapat dilihat
di website Bank Indonesia :
www.bi.go.id
atau
Bank terdekat

cara kerja reksa dana



Dikutip dari Tabloid NOVA No. 666/XIII
Pada edisi yang lalu kita telah berbicara sekilas mengenai apa itu saham. Sekarang, saya akan mengajak Anda berkenalan dengan apa yang namanya Reksa Dana. Dalam Bahasa Inggris, Reksa Dana dikenal dengan nama mutual fund.
Reksa Dana adalah sebuah bentuk investasi yang dilakukan secara kolektif (bersama-sama), dan investasi ini dikelola oleh sebuah perusahaan manajemen investasi. Perusahaan manajemen investasi adalah perusahaan yang kerjanya mengelola investasi nasabahnya.
Sebagai contoh, ada investor A, B, C, D, dan E masing-masing memiliki uang berbeda-beda dan memutuskan untuk melakukan investasi secara bersama-sama. Di sini, mereka bisa menggabungkan semua uang yang mereka miliki untuk diserahkan pengelolaan investasinya pada sebuah perusahaan manajemen investasi.
Nantinya, apabila investasi itu memberikan keuntungan, katakan sebesar 15% dalam setahun, maka masing-masing dari investor tersebut akan mendapatkan keuntungan yang besarnya sesuai dengan proporsi jumlah yang mereka investasikan. Tapi bila investasi itu merugi, tentu saja masing-masing dari mereka juga akan merugi sesuai dengan proporsi jumlah yang mereka investasikan tadi.
Nah, bentuk investasi yang dilakukan secara kolektif (bersama) di mana pengelolaan investasinya diserahkan kepada sebuah perusahaan manajemen investasi inilah yang disebut dengan nama investasi Reksa Dana. Perusahaan Manajemen Investasi
 (selanjutnya kita sebut saja Manajer Investasi) inilah yang lalu akan melakukan investasi ke berbagai macam produk investasi seperti saham, deposito, surat utang, dan lain sebagainya. Reksa Dana sebetulnya merupakan cara yang baik untuk melakukan investasi, karena investasi Anda dikelola oleh tim pengelola investasi yang memang cakap dan (biasanya) berpengalaman.
Bagaimana Cara Kerja Reksa Dana?
Dalam prakteknya, Manajer investasi tidak menunggu investor untuk memasukkan uang lebih dulu sebelum mereka membeli produk investasi, tapi dibalik. Mereka beli dulu produk-produk investasinya, baru kemudian investasi itu dijajakan kepada investor.
Bagaimana caranya? Oke, pertama-tama, manajer investasi (yang menerbitkan Reksa Dana) akan mengundang sejumlah pihak untuk menjadi sponsor/promotor (penyandang dana). Dari sponsor inilah akan didapat dana yang cukup besar, yang akan dialokasikan ke sejumlah produk investasi.
Untuk contoh, kita misalkan saja total dana yang didapat dari sponsor adalah Rp 1 triliun. Dana sebesar itu, oleh Perusahaan Reksa Dana (melalui tim pengelola investasi-nya) akan dibelikan sejumlah investasi, seperti dibelikan sejumlah deposito di berbagai bank, dengan jangka waktu satu bulan. Contoh seperti Tabel 1.
Setelah itu, Perusahaan Reksa Dana akan membagi investasi tersebut ke dalam pecahan-pecahan kecil, yang disebut dengan nama Unit Penyertaan (UP), dimana masing-masing UP akan bernilai Rp 1.000. Sehingga dari total investasi senilai Rp 1 triliun seperti dicontohkan diatas akan didapat UP sebanyak Rp 1 triliun : Rp 1.000 = 1 miliar UP
Nah, UP inilah yang akan diterbitkan dan dijual ke masyarakat. Dengan demikian, investasi yang dilakukan oleh investor adalah dengan cara membeli UP itu. Untuk menyeragamkan, maka UP Reksa Dana pada awalnya selalu dijual dengan harga awal Rp 1.000. Dalam hal ini, harga atau nilai UP tersebut disebut juga dengan Nilai Aktiva Bersih (NAB).
Jumlah UP yang dibeli investor berbeda-beda, ada yang hanya membeli 100 UP, tetapi ada juga yang membeli 1.000, 5.000, atau bahkan 10.000 UP. Semua itu tergantung dana masing-masing investor. Selain itu, investor juga harus membayar komisi untuk Perusahaan Reksa Dana, yang biasanya maksimal sekitar 0,75% sampai dengan 3% dari total investasi Anda. Sebagai contoh, bila Anda membeli 1.000 UP dengan harga total Rp 1.000.000, maka Anda harus menambahkan sekitar Rp 7.500 sampai Rp 30.000 untuk komisi manajer investasi.
Dalam dunia reksa dana, komisi untuk manajer investasi ini sering disebut dengan nama "biaya penjualan". Ini karena komisi tersebut harus Anda bayar pada saat Anda membeli UP yang dijual itu.
Selanjutnya, karena reksa dana diatas dialokasikan ke dalam Deposito Berjangka 1 bulan, maka tentunya setelah 1 bulan, akan ada bunga deposito yang didapat, sehingga akibatnya NAB dari UP Anda akan naik. Dalam contoh di atas, kita misalkan bahwa masing-masing deposito akan memberi bunga yang sama (meski kenyataannya akan berbeda-beda), seperti contoh tabel 2.
Menurut contoh tersebut, nilai UP yang tadinya dibeli seharga Rp 1.000, setelah satu bulan telah naik menjadi Rp 1.010. Ini berarti, dalam 1 bulan, si pemilik UP (investor) telah mendapatkan kenaikan NAB sebesar 1% per bulan.

Dalam kenyataannya, perubahan NAB suatu reksa dana sangat bergantung pada instrumen investasi yang dipilih tim pengelola investasi. Apabila mereka memilih instrumen deposito sebagai produk investasinya, maka NAB reksa dananya akan terus naik dan tidak mungkin mengalami penurunan. Ini karena sifat deposito yang pasti memberikan keuntungan berupa bunga, sehingga akan terus menambah nilai aset reksa dana.
Tapi ada juga reksa dana yang khusus berinvestasi ke dalam saham. Saham, tidak seperti deposito, memiliki kemungkinan keuntungan yang tidak pasti sifatnya. Bisa naik, bisa pula turun. Karena itu, nilai UP pada reksa dana saham memiliki kemungkinan untuk naik dan juga untuk turun. UP yang tadinya Anda beli seharga Rp 1.000, misalnya, bisa saja jadi Rp 900 pada satu bulan kemudian karena saham-saham yang dipilih oleh manajer investasi turun nilainya. Di sisi lain, bila nilai saham naik, besar kenaikan tersebut bisa lebih besar daripada deposito. Itulah sebabnya, reksa dana jenis ini disebut dengan nama reksa dana growth income.
Reksa dana lainnya ada yang berinvestasi ke dalam obligasi (surat hutang), dan ada juga yang berinvestasi ke dalam kombinasi dari dua atau lebih instrumen investasi, semisal gabungan saham dan obligasi, atau obligasi dan deposito.
Jadi, sebelum membeli reksa dana, tanyalah pada si penjual reksa dana atau bacalah terlebih dahulu prospektusnya (penjelasannya) sehingga Anda tahu reksa dana jenis apakah yang akan Anda beli. Apakah itu reksa dana yang mengalokasikan investasinya pada saham, obligasi, deposito, atau kombinasi antara dua atau tiga instrumen investasi.
Menjual Kembali Reksa Dana Yang Telah Anda Miliki

Setelah beberapa waktu, Anda bisa menjual kembali UP yang Anda miliki kepada perusahaan reksa dana Anda. Jenis reksa dana di mana Anda bisa menjual kembali UP Anda kepada perusahaan penerbitnya disebut dengan nama Reksa Dana Terbuka (open end mutual fund). Lawan dari Reksa Dana Terbuka adalah Reksa Dana Tertutup (closed end mutual fund). Reksa Dana Tertutup adalah jenis reksa dana di mana Anda tidak bisa menjual UP yang Anda miliki kepada penerbitnya, tapi Anda hanya bisa menjualnya kepada investor yang lain, dan penjualan tersebut harus dilakukan lewat bursa.
Untuk Reksa Dana Terbuka, bila sewaktu-waktu Anda ingin menjual UP Anda, maka Anda bisa menjualnya kembali kepada penerbit reksa dana Anda, dan perusahaan reksa dana dilarang untuk menolak penjualan kembali UP dari nasabahnya. Ini tentunya akan menguntungkan Anda.
Sebaliknya, pada Reksa Dana Tertutup, proses penjualan kembali sering mengalami hambatan karena tidak selalu ada investor yang mau membeli UP Reksa Dana Anda. Jadi dengan kata lain, UP dari Reksa Dana Terbuka lebih likuid dari UP pada Reksa Dana Tertutup.